Selasa, 04 Oktober 2011

Cogito, Ergo Sum

Cogito, Ergo Sum. Akau berfikir maka aku ada. Inilah sebuah awal dari pemahaman akan segala sesuatu oleh Rene Descartes. Pemahaman ini disebut sebut sebagai bagian dari Deisme. Paham yang dianggap berbahaya oleh salah sat guru filsafat di tempat saya belajar kewarganegaraan. Yang membuatnya berbahaya karena menurut kaum Deis Tuhan ada karena manusia pikir Tuhan ada. Terdengar sangat mengejutkan jika anda seorang penganut agama. Tapi bagaimana pemahaman Descartes sebenarnya sangat logis jika anda kenal siapa Rene Descartes.

Rene Descartes adalah seorang ahli filsafat modern yang besar. Ia juga penemu biologi modern, ahli filsafat dan matematikawan. Bahkan karena ayah Descartes seorang ahli hukum , ia pun sarjana hukum. Pernah menjalani dinas militer dan pernah mengajari Ratu Swedia. Descartes menyelidiki suatu metode berfikir yang umum yang akan memberikan hubungan antara ilmu pengetahuan untuk menuju kebenaran. Tapi fakta-fakta ini belum menjelaskan betapa logisnya pemahaman Descartes.
Menurut buku Kalkulus dan Geometri Analitis Jilid 1 oleh Edwin J. Purcell halaman 1, saya dapati Descartes kecil adalah anak yang malang. Kesehatannya kurang baik. Ia menghabiskan waktu paginya belajar dan berfikir di kamar sementara teman temannya bermain. Hal ini menjadikan suatu kebiasaan yang menarik dan berguna lalu ia lanjutkan hingga akhir hidupnya. Tak ada yang lebih sering dibanding berfikir dan berfikir di dalam kamar. Descartes kecil tak sempat merasakan mengejar anjing tetangga, main petak umpet, atau bermain kelereng. Apalagi bermain bola.

Jadi jelaslah mengapa Descartes berfikir seperti demikian. Kita tidak bisa begitu saja mengecap sebuah paham itu sesat. Tentu ada sebab mengapa orang berpola fikir terntentu. Coba kalau saja Descartes adalah anak yang sehat lalu hobinya bermain bola. Mungkin saja ia akan punya motto hidup “Bola adalah Teman”. Mungkin saja ia bukan Ahli Filsafat tapi sejenis Captain Tsubasa. Coba kalau Descartes mengkonsumsi Produk susu tertentu, munkin ia akan berkata, “Life ia an adventure” atau jika ia menghisap rokok merek tertentu, ia juga mungkin akan berkata, “My life, My Adventure”. Logis bukan?

Bukan Salah Taktik Militer

Adolf Hitler beranggapan bahwa ras Arya perlu ruang untuk hidup, maka ia cari lahan yang luas , Rusia. 22 Juni 1941, Hitler memulai serangannya ke Uni Soviet (Rusia) yang telah ia rencanakan setahun sebelumnya. Ia namai operasi militer ini Barbarossa, salah satu(idolanya) kaisar jerman pada abad pertengahan. Karena keyakinannya yang kuat bahwa kali ini perangnya akan berjalan mulus dan singkat maka ia gunakan taktik Blitzkrieg, serangan kilat yang mengejutkan. Salah satu ciri taktik ini adalah penggunaan cavalry, yaitu tank atau panzer yang memiliki keuntungan mematikan dan cepat. Tujuan serangan langsung pada lokasi yang penting. Pasukannya bergerak dengan cepat. Bahkan salah satu jendral Jerman hanya member komando “ keep advancing”.

Awalnya serangan ini berjalan mulus bagi Hitler, tapi ternyata Rusia terlalu luas. Ada banyak hamparan tanah becek yang membuat panzernya sulit melaju. Banyak peralatan berat yang ditinggal begitu saja karena pasukan tak kuat menjinjingnya. Kondisi di perparah dengan datangnya musim dingin dan serangan balik dari Soviet. Hitler yang mengharapkan pukulan cepat dan tidak mempersiapkan perang yang berkelanjutan di tengah musim dingin Rusia. Banyak yang dilupakan Hitler. Pasukannya kekurangan kopi hangat, dan selimut untuk melindungi dari dinginnya Rusia. Yang tadinya menyerang kota lalu meninggalkannya maju begitu saja , harus mempertahankan gubuk untuk satu-satunya tempat berlindung. Akhirnya pasukan Hitler dipukul mundur.

Blitzkrieg sebagai salah satu taktik militer memang ada kalanya membawa kekalahan dan ada kalanya membawa kemenangan. Tak masalah, toh sekrup Tank yang lepas dapat membawa kekalahan. Tapi bagaimana jika taktik militer, sesuatu yang berkaitan dengan pemusnahan, kepedihan dan kekerasan di terapkan pada sesuatu yang bertolak belakang misalnya kasih sayang dan kedamaian? Dan itu terjadi begitu saja.

Hah…. Mungkin benar saya terlalu sering memainkan game perang, menonton film perang, dan membaca artikel sejarah yang diliputi peperangan. Tanpa saya sadari saya telah menciptakan dunia tersendiri dalam otak saya. Dunia yang aneh.