Rabu, 23 Juli 2014

Demokrasi Alaihom Gambreng!



Akhirnya selesai juga proses demokrasi yang penting banget namun tidak efisien dan sia-sia ini. Mengapa tidak efisien? Karena anggarannya 7,9 triliun (TEMPO.CO). Kalau dibelikan senar gelasan kualitas super panjangnya bisa sampai 900 juta kilometer. Sudah saya cek di berniaga.com. Coba kalau dipergunakan untuk main layangan. Bisa sampai planet Yupiter. Sudah terbayang to, mahalnya. Mengapa sia-sia? Karena katanya terjadi kecurangan, sehingga salah satu negarawan yang menjadi kandidat menarik diri dari proses penting banget ini. Mengapa Negarawan? Kata orang seperti itu. Padahal negarawan itu orang pekerjaannya ngurusi negara, pegawai negara, bukan yang sudah pensiun.

Apa itu demokrasi? Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di negara saya, demokrasi sudah diterjemahkan sebagi kedaulatan rakyat. Kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Tidak berlainan dengan demokrasi menurut Lincoln. Demokrasi lalu diwujudkan dengan proses voting melalui pencoblosan. Mengingat apa yang terjadi pada proses pencoblosan, pertanyaannya adalah apa yang berada di tangan rakyat? Jawabannya adalah paku. Paku untuk mencoblos. Lalu apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh bangsa saya ini? Sesuatu di tangan rakyat, paku.

Demokrasi sejatinya adalah hal yang baik, jika apa yang dimaksud kedaulatan rakyat itu tidak hanya paku itu. Pemungutan suara hanyalah salah satu cara untuk menentukan yang menang dan yang kalah. Sebagai sebuah bangsa yang beradab memang selayaknya  mengadopsi cara-cara beradab dari bangsa lain yang dirasa lebih beradab. Padahal sejak masih ingusan hampir semua anak Indonesia dan mungkin dunia sudah mengenal cara pengambilan keputusan, menentukan peran masing-masing anak sebelum bermain. Cara yang mulia ini adalah hompimpa, suit atau pingsut, dan sebagainya. Hompimpa adalah cara menentukan siapa yang menang dan kalah jika jumlah kandidat calon pemain lebih dari dua. Lalu suit, pingsut, atau gunting batu kertas dilaksanakan jika kandidatnya hanya dua. Tidak perlu uang, hanya tangan. Setelah itu semua anak akan menerima keputusan, lalu bermain bersama-sama. Mereka tidak akan larut pada klaim yang menang siapa. Kalau sperti itu sampai ingusnya kering, tidak akan sempat bermain.

Sebagai pemuda Indonesia saya menawarkan sebuah cara untuk memilih presiden yang efektif dan efisien. Namanya juga menawarkan, kalau ada yang tidak setuju wajar. Daripada menghabiskan senar gelasan ratusan juta kilometer panjangnya. Lebih baik kandidat dipersilahkan melakukan hompimpa atau suit. Kalau rakyat menginginkan seperti itu maka itu menjadi bagian dari demokrasi. Hompimpa Alaihom Gambreng. Pasti mereka akan menerima apapun hasilnya. Setelahnya mereka akan bermain bersama-sama.

Saya agak heran bagaimana orang Yunani bisa menemukan demokrasi macam sekarang ini. Apa anak-anak Yunani musti melakukan voting sebelum main petak umpet? Padahal hompimpa adalah cara yang mulia. Sebuah studi yang dilakukan Zaini Alif menemukan bahwa "Hompimpa Alaihom Gambreng" itu bermakna "Dari tuhan kembali ke tuhan, mari kita bermain bersama!"


Demokrasi Alaihom Gambreng!
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, kembali ke Tuhan, Mari bermain bersama!