Jumat, 20 November 2015

Peluru Hanya Mematuhi Hukum-Hukum Fisika

Sebelum ditemukan senapan mesin, manusia berperang dengan berbaris. Kedua belah pihak berhadapan di lahan kosong semacam lapangan, makanya ada istilah battle field. Mereka bertempur jauh dari rumah, karena rumahnya, keluarganya, itulah yang mereka lindungi. Lawan adalah prajurit yang berbaris di hadapannya. Kalau modalnya cukup bisa naik kuda, supaya keren dan cepat larinya. Biasanya berunding dulu. Mirip permainan catur atau sepak bola, ada tempatnya, ada aturannya.

Setelah ditemukan senapan mesin baris-berbaris sangat berisiko jika diterapkan dalam pertempuran. Manusia tak dapat berlari secepat rentetan peluru bahkan naik kuda sekali pun, dua kali pun ,tiga kali pun, sampai banyak sekali pun. Maka bertempur di lapangan menjadi tidak relevan. Karena tidak ada lapangan khusus pertempuran perang bisa terjadi di mana-mana, manusia yang bukan prajurit bisa jadi korban, mereka terseret dalam pertempuran. Apalagi setelah ditemukan bom, pesawat tempur, meriam yang semakin jauh jangkauannya, roket, dan bahkan bom atom. Perang semakin brutal. tidak ada aturan yang mengikat. Peluru hanya mematuhi hukum-hukum fisika.



Pertempuran, perang itu sendiri adalah teror. Jaman dahulu tidak ada istilah teroris, mungkin karena jelas mana prajurit dan bukan.

Menurut saya teroris sendiri adalah sebutan bagi musuh yang belum diakui. misal seorang atau segelintir orang yang punya tujuan tertentu ingin melawan pemerintah maka ia tidak terang terangan, sembunyi lalu melakukan teror, itu teroris. Jika anggotanya cukup banyak sehingga diakui oleh bangsa-bangsa maka mereka jadi pemberontak. Jika mereka berhasil melakukan pemberontakan, mereka bisa menjadi pemerintah. Setelah menjadi pemerintah, mereka bisa meneror bangsa lain dan menindasnya.

Naasnya banyak yang mendasari peperangan dengan agama yang dianutnya. Sejak dulu juga ada, sebelum ada senapan mesin dan bom. Tapi mereka bertempur dengan lawan yang setimpal, bukan orang tak bersenjata. pengetahuan saya tentang agama yang sedikit sekali, tidak mengajarkan untuk memerangi orang orang tak bersenjata. Agama tidak mengajarkan untuk memberondong warga tak bersenjata dengan senapan mesin. Tidak ada ayatnya. Itu Bid'ah. Memberondong warga tak bersenjata setau saya diajarkan oleh GTA San Andreas.

Selasa, 15 September 2015

Suci Namun Goblok



Berikut adalah pemahaman saya ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4. Ini saya tulis  sekadar sebagai sejarah pemikiran saya.

   Dimulai dari sebuah pertanyaan. Pertanyaan dasarnya adalah apa perbedaan antara manusia dengan hewan? Waktu itu saya belum mengenal klasifikasi makluk hidup. Jadi saya belum tahu bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam kingdom animalia.
   Waktu itu saya tahu sedikit apa itu seks, meski pun saya tidak menyebutnya demikian. Saya tahu bahwa jika kambing jantan memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin betina maka si pemilik kambing dapat bertambah jumlah kambingnya. Saya juga paham bahwa ayam, belalang, kupu-kupu melakukannya.Bahkan saya juga tahu bahwa jika manusia melakukannya maka si wanita bisa hamil. Namun saya tidak menyebutnya seks. Saya menyebutnya aktivitas pemerkosaan. Entah kenapa, mungkin karena saya belum pernah menyaksikan adegan seks, dan yang saya tahu hanya berita berlabel PATROLI di Indosiar.
   Menurut pemahaman saya manusia memiliki dua kemungkinan untuk bisa menghasilkan bayi. Pertama ada aktifitas pemerkosaan dan kedua karena cinta. Hanya cinta. Hanya cinta dan tanpa seks. Saya beranggapan bahwa pasangan suami istri yang saling mencintai tidak perlu melakukan hubungan pemerkosaan tadi. Karena mereka saling mencintai, maka hanya karena cinta itulah Tuhan mau menitipkan saya kepada Bapak dan Ibu. Dan itu alamiah. Maklum, bahkan saya tidak paham kisah Nabi Isa putra Maryam, Saya juga tidak tahu bahwa dalam kitab suci sudah dituliskan perihal sperma dan sel telur.
   Cinta, itulah sebuah kemungkinan yang dimiliki oleh umat manusia, yang membedakannya dari hewan. Hewan harus berhubungan seks untuk mendapatkan keturunan, sementara manusia tidak. Itulah pemahaman saya yang amat dalam mengenai mengapa saya bisa hidup di bumi ini. Itulah pemahaman saya mengenai cinta yang begitu tinggi, begitu suci. Suci karena saat itu pikiran saya belum banyak polutannya. Suci karena itu hasil pemahaman saya sendiri. Suci karena saya kira manusia tidak perlu 'tindakan pemerkosaan' tadi untuk mendapatkan keturunan. Suci namun naif. Hmm bukan, lebih enak disebut “suci namun goblok”. Goblok, masa seperti itu sekarang saya anggap tidak goblok? Merasa mendapat ilham yang suci (namun goblok) itu tadi, merasa itu penemuan yang hebat, teori yang fundamental mengenai awal keberadaan saya sendiri, lantas saya bercerita ke Bapak dan Ibu perihal pemahaman tersebut
    Ibu saya sontak terkejut. Lalu meluruskan bahwa manusia yang menikah juga melakukannya dan itu bukan pemerkosaan. Intinya itu.

    Saya juga terkejut mendengar pemahaman ibu. Pemahaman saya yang suci, yang sudah didapatkan dengan proses berfikir menggunakan pemahaman-pemahaman yang sudah saya punya, sirna. Teori saya runtuh. Saya agak sulit menerima mendengar kenyataan tersebut, memang kenyataan sering kali sulit diterima oleh jiwa yang tidak sehat. Saya merasa kotor. Sayangnya saat itu saya menjadi beranggapan buruk terhadap manusia, karena tidak bisa membedakan antara manusia dengan hewan, Tapi setidaknya saya jadi tidak goblok. Lalu, pertanyaannya, cinta itu apa? fungsinya apa?

Cinta tidak bisa sirna hanya disebabkan ketidakmampuan pengungkapan. Sebab bagian utama dari cinta itu adalah hati, bukan rasio. Seorang anak kecil mencintai susu. dan susu menjadi makanannya. Meski demikian ia tak dapat menjelaskan apa itu susu sebenarnya. Meskipun jiwanya menghasratkan, mustahil ia mampu mengungkapkan kepuasan yang diperoleh dari meminum susu atau bagaimana ia menderita apabila dijauhkan dari susu. -Jalaluddin Rumi
Itulah pemahaman saya dulu yang goblok mengenai hidup manusia dan cintanya. Dulu, bukan sekarang. Kalau sekarang, sudah banyak hal yang saya saksikan, sudah lebih banyak tulisan yang saya baca. Tingkat kegoblokan saya sudah berkurang.

Jumat, 21 Agustus 2015

Astaghfirullah

Sebagai zoon politicon saya ingin bergabung bersama peradaban, bergaul dengan teman-teman. Untuk itu saya ikut masuk rental Play Satation, menonton mereka memainkan Winning Eleven. Untuk itu saya menonton mereka memainkan Pro Evoluiton Soccer  yang ada di komputer.
Suatu masa, saya ingin yang lebih. Saya ikut bergabung bermain sepak bola di lapangan luas standar tarkam. Sebelumnya, perlu diketahui bersama, bahwa misuh atau mengumpat adalah hal yang cukup dapat diterima dalam pergaulan kawula muda. Saya memang tidak punya kemampuan main bola. Jika saya melakukan kesalahan, misalnya bola yang dioper ke saya tidak dapat saya terima atau mrucut, lalu ada yang berteriak ,mengumpat, masih dapat diterima. Memang sopan-santunnya seperti itu.
Kali ini tidak demikian. Suatu saat saya gagal menerima operan bola. "Siiir" operan bola yang sebenarnya mudah diterima lolos dari kaki saya. Seketika itu salah seorang pemain teman berteriak, "ASTAGHFIRULLAH". 
.............................................................. 
Mendengar kalimat toyibah kok malah lebih menyakitkan dari pada umpatan umumnya. Itu kan berarti saya melakukan kesalahan sampai-sampai ada orang minta maaf pada Tuhan. Saya merasa jadi orang yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari makna konotatif setiap umpatan yang ada beserta makna filosofisnya.
Pupus sudah harapan saya. Sejak saat itu saya merasa memang tidak pantas saya main bola, seakan-akan saya berkata "Tuhan, sepak bola ini milikmu, hamba-Mu yang hina ini tak pantas menikmatinya." Selamat jalan sepak bola Indonesia. 

Salam olah raga.