Jumat, 21 Agustus 2015

Astaghfirullah

Sebagai zoon politicon saya ingin bergabung bersama peradaban, bergaul dengan teman-teman. Untuk itu saya ikut masuk rental Play Satation, menonton mereka memainkan Winning Eleven. Untuk itu saya menonton mereka memainkan Pro Evoluiton Soccer  yang ada di komputer.
Suatu masa, saya ingin yang lebih. Saya ikut bergabung bermain sepak bola di lapangan luas standar tarkam. Sebelumnya, perlu diketahui bersama, bahwa misuh atau mengumpat adalah hal yang cukup dapat diterima dalam pergaulan kawula muda. Saya memang tidak punya kemampuan main bola. Jika saya melakukan kesalahan, misalnya bola yang dioper ke saya tidak dapat saya terima atau mrucut, lalu ada yang berteriak ,mengumpat, masih dapat diterima. Memang sopan-santunnya seperti itu.
Kali ini tidak demikian. Suatu saat saya gagal menerima operan bola. "Siiir" operan bola yang sebenarnya mudah diterima lolos dari kaki saya. Seketika itu salah seorang pemain teman berteriak, "ASTAGHFIRULLAH". 
.............................................................. 
Mendengar kalimat toyibah kok malah lebih menyakitkan dari pada umpatan umumnya. Itu kan berarti saya melakukan kesalahan sampai-sampai ada orang minta maaf pada Tuhan. Saya merasa jadi orang yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari makna konotatif setiap umpatan yang ada beserta makna filosofisnya.
Pupus sudah harapan saya. Sejak saat itu saya merasa memang tidak pantas saya main bola, seakan-akan saya berkata "Tuhan, sepak bola ini milikmu, hamba-Mu yang hina ini tak pantas menikmatinya." Selamat jalan sepak bola Indonesia. 

Salam olah raga.